KOMUNISME YANG JAHAT DAN SESAT? KAPITALISME YANG DERMAWAN?
Zaman ini adalah zaman ketika nilai kemanusiaan digadaikan, dan integritas ditukar dengan saldo. Bukan siapa kamu, tapi seberapa banyak nominal dan aset yang kamu miliki. Identitas manusia digantikan oleh angka dan bilangan.
Selama puluhan tahun, kita dicekoki bahwa komunisme adalah kejahatan mutlak. Bahwa segala bentuk pemikiran kolektif adalah ancaman bagi moralitas bangsa. Tapi narasi ini terlalu mentah. Terlalu hitam-putih. Terlalu dibuat-buat demi menjaga stabilitas kekuasaan tertentu.
Dalam sejarah, komunisme adalah satu dari tiga pilar ideologis besar Indonesia yang pernah coba disatukan: NASAKOM — Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Gagasan ini tak sesat. Ia hanya terlalu maju untuk diterima di tengah konflik kekuasaan dan trauma perang dingin global.
Maka siapa sebenarnya yang lebih manusiawi? Komunisme yang pernah keliru dalam praktik, atau kapitalisme yang membunuh pelan-pelan lewat sistem yang disembah setiap hari tanpa sadar?
Sudah saatnya kita berhenti mencerca komunisme secara mentah. Bukan untuk membenarkannya, tapi untuk memahami bahwa bukan ideologinya yang jahat — tapi manusia yang gagal menjaga jiwa di balik ideologi.
LANDASAN DASAR NUSANTARA
Saya tidak tahu apakah masih ada gunanya menulis. Sudah ada ribuan tulisan filsuf dan ratusan ajaran agama, namun tidak pernah benar-benar mampu mengubah keadaan.
Perubahan pola pikir dan perilaku hari ini hanya disebabkan oleh kehadiran uang, yang sejatinya hanyalah alat tukar. Tapi uang—dengan diam-diam dan pasti—telah melenyapkan kamanungsane manungso: sisi manusiawi dari manusia itu sendiri.
Lalu di antara puing-puing nilai, komunisme dikalahkan, dibantai habis oleh kapitalisme. Bukan karena ia lebih salah, tetapi karena ia lebih miskin.
Manusia kini kehilangan dirinya sendiri. Tak lagi mengerti apa makna kehadiran, tak lagi mengenal dari mana ia berasal, dan tak tahu lagi apa yang harus dicintai selain rekening.
JANGAN TERBURU-BURU MENGHAKIMI, BUNG!
Lebih hina dari alat tukar itu sendiri. Lebih murah dari harga dirinya sendiri.
🪔 Versi Naratif Puitis (untuk bagian akhir artikel):
Di zaman ini, manusia bukan hanya diperbudak oleh sistem, tapi juga oleh nilainya sendiri — yang diukur lewat lembaran uang, saldo digital, dan bilangan di layar. Maka jadilah kita makhluk yang menjual jiwa, lebih murah dari harga kertas yang kita sembah.
0 Comment:
Posting Komentar